Sunday, April 12, 2009

Kenapa YouTube?

Akhir pekan lalu, Havel berkenalan dengan YouTube. Saya mulai dengan membukakan Naruto, film kartun yang digandrunginya. Mendapati cuplikan-cuplikan Naruto, anak sulung saya yang baru enam tahun itu, girang tak kepalang. Tapi, kegirangan itu harus stop. Pemerintah Indonesia memblokir YouTube. Alasannya, situs tersebut tak mengindahkan permintaan agar Fitna karya Geert Wilders diturunkan.
****
Pada Oktober 2007, YouTube menjadi buah bibir. Google Inc. akhirnya sukses membeli situs layanan video itu dengan merogoh kocek 1,65 miliar dollar AS. Saat transaksi, usia YouTube baru 19 bulan, setelah didirikan Steve Chen (kelahiran 1978), Chad Hurley (1977), dan Jawed Karim (1979). Dua bulan sebelum akuisisi, The Wall Street Journal menulis, YouTube memuat 6,1 juta video yang membutuhkan sekitar 45 terabytes gudang penyimpanan data. Kini, lebih dari 100 juta video siap dinikmati. Tak pelak, keberhasilan Google membikin sejumlah perusahaan lain yang dikabarkan juga tertarik membeli seperti Yahoo, Microsoft, News Corp, dan Viacom, gigit jari. Apalagi, kemudian popularitas YouTube memang melejit luar biasa. Lihat, mendompleng popularitas YouTube, Universitas California, Berkeley, membuka kanal khusus untuk menampilkan rekaman kuliah dan aktivitas kampus. Lebih dari 300 jam sesi kuliah bisa diakses cuma-cuma. Niscaya, bukan cuma itu. Jika Anda memburu hiburan, YouTube sangat “bersahabat.” Istri saya cukup puas menikmati aksi Duran-Duran, yang pekan ini manggung di Jakarta, hanya dari YouTube (Ia bilang, lebih baik duitnya dibelikan sembako yang harganya terus mencekik leher.)
****
Aneh. Seekor tikus bernama Fitna mesti dibunuh dengan membakar lumbung padi bernama Youtube. Kita dipaksa untuk mudik ke “era kegelapan.” Banyak sampah berceceran, namun di sana tayangan-tayangan mencerahkan juga sangat berlimpah. Bukankah hidup kita senantiasa dikepung aneka pilihan?! Kini, layar sensor telah dibentangkan. Tentu datangnya dari rasa cemas. Sensor adalah pelembagaan rasa cemas. Penyensor takut ada jiwa-jiwa rapuh yang bakal terguncang dan tercemar. Sensor hadir karena kita tak sungguh-sungguh percaya bahwa setiap individu punya kedaulatan yang dibangun dari proses belajar dan pengalaman hidup bertahun-tahun. (Pasti, saya tak sedang bicara tentang anak-anak, seperti Havel, yang secara yuridis-formal belum bertanggung jawab atas perbuatannya.) Mungkin asumsi itu benar, tapi perkenankan saya untuk skeptis. Niat buruk Wilders tak harus dilawan dengan sensor. Banyak jalan menuju Roma. Kemarahan seyogyanya dikelola. Jika tidak, apa bedanya kita dengan si keparat ekstrim kanan itu?
***
Ketika berita tersebut tiba semalam, saya langsung tercenung, “Apa jawaban yang harus diberikan jika Havel minta dibukakan situs itu akhir pekan ini?” Untungnya, seorang teman berbisik, “YouTube masih bisa diakses. Caranya, bla…bla…bla…” Terbukti. Lalu, langkah pemblokiran itu pun kian terkesan absurd di benak saya. [Yus Ariyanto]

0 komentar:

Post a Comment

saran, komentar dan kritikan anda sangat berharga buat saya, terima kasih.